Momentum Hari Kartini, Bangun Kembali Semangat Litrasi Dengan Gerakan Gemar Membaca

  • Apr 21, 2024
  • PPID Desa Sandik
  • Berita Nasional

Sandik- Kampung Baca Desa Sandik yang merupakan salah satu komunitas penggerak Litrasi di Lombok Barat menggelar kegiatan bersama Himpunan Mahasiswa Batulayar dan Lombok Book Party di Hari Kartini bertempat di Taman Kota Sandik.

Kegiatan berlangsung pada Ahad, (21/04/2024) di Taman Kota Sandik dimana setiap orang membaca masing-masing satu buku kemudian di persentasikan secara singkat terkait isi buku yang dibaca hal ini berguna untuk meningkatkan pemahaman terkait isi buku dan sebagai pemantik untuk meningkatkan minat baca masyarakat.

Mahidin, S.Pd selaku Ketua Kampung Baca menyampaikan meskipun kegiatan yang dilakukan sangat sederhana namun hal tersebut dapat memberikan efek yang besar terhadap lingkungan dan dunia litrasi, dengan berkembang pesatnya teknologi di era ini yang digadang-gadang dapat mempermudah urusan manusia malah memberikan dampak negatif.

Masyarakat lebih gemar membaca postingan-postingan yangkurang sehat di media sosial begitu pula dengan remaja yang lebih gemar mengkonsumsi konten-konten yang kurang sehat di media sosial dan lupa akan adanya buku yang memberikan informasi yang lebih sehat.

Sehingga dengan memanfaatkan momentum Hari Kartini melalui gerakan Gemar Membaca mengajak masyarakat, pemuda, remaja dan para Mahasiwa dan mahasiswi untuk kembali memanfaatkan bahan bacaan yang ada dan melihat kembali ke masa lampau bagaimana Kartini muda menjadi sosok pejuang bangsa yang gemar membaca dan menulis sehingga tak lekang oleh masa, dimana.

RA Kartini pada umumnya lebih dikenal sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita yang menuntut kesetaraan hak dan kewajiban sosial dengan kaum pria. Karena itu tak heran  jika kaum wanita terlihat aktif dalam peringatan  Hari Kartini  setiap tahun. Ritual peringatan Hari Kartini secara fisik biasanya muncul dalam wujud berbusana sarung kebaya mulai dari murid-murid TK hingga orang dewasa.

Para ahli berpendapat, ide Kartini tentang kesetaraan, emansipasi wanita lahir mendahului zamannya. Apalagi Kartini sendiri lahir dalam lingkungan feodal. Kartini memperoleh pendidikan Belanda setara sekolah dasar, tetapi ia sosok visioner, berpandangan jauh melampaui zamannya. Ia mendobrak mitos: wanita dilahirkan sekadar menjadi istri dan ibu yang berkutat di rumah, beranak, ngurus dapur dan kasur. Namun, lebih dari itu kaum wanita juga berhak memperoleh pendidikan setara laki-laki.

Cita-citanya mewujud tatkala ia mendirikan sekolah-sekolah  gadis di masanya. Jika kaum wanita Indonesia bisa menduduki jabatan apa saja seturut kemampuannya sejajar dengan pria, maka tidak lain hal itu merupakan hasil perjuangan Kartini. Kemajuan seperti itu seharusnya disyukuri oleh seluruh bangsa. Karena itu, peringatan Hari Kartini bukan sekedar peringatan kemenangan gender yang hanya dilakukan oleh kaum wanita melainkan kemenangan seluruh anak bangsa.

Ketokohan Kartini tidak sebatas pejuang emansipasi tetapi tokoh pembaharuan sosial. Kartini misalnya berkampanye agar rakyat melepaskan tradisi yang membelenggu atau menghambat kemajuan. Ia juga menolak perbedaan perlakuan antara anak Belanda dan anak Indonesia sekaligus menolak mitos bahwa orang Indonesia bodoh, terbelakang, dan tak berdaya.

Kegemaran Kartini membaca buku menjadikan dirinya pribadi berwawasan luas sehingga mampu menjalin persahabatan dan berdiskusi dengan wanita Belanda, baik itu teman semasa sekolah maupun kenalannya melalui tulisan di majalah. Kartini sebagai adalah pelopor pendidikan untuk kaumnya meski tidak lama hidup setelah mau menjemputnya. Perjuangan Kartini cukup panjang untuk membawa kaum wanita ke jenjang kedudukan yang penting dan strategis.

Dalam buku karyanya, Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan Balai Pustaka (1922), Kartini menulis surat kepada para sahabat dan rekan-rekannya berkebangsaan Belanda. Dalam buku itu, dapat disimak perjuangan seorang Kartini, wanita bangsawan yang menggunakan kesempatan menyentuh aspek literer dengan baik. Kesempatan ia peroleh tidak disia-siakan untuk tujuan luhur. Kartini mendidik kaumnya sebagai ekspresi eksistensi diri, cakap, dan bijaksana menjaga martabat setara laki-laki.

Pada tahun 1903 Kartini membuka sekolah bagi gadis pribumi. Sekolah rintisan Kartini dibuka empat hari dalam seminggu mulai pukul 08.00–12.30. Pelajaran yang diberikannya, antara lain belajar membaca dan menulis Bahasa Belanda, menjahit, dan memasak. Kegigihan  Kartini untuk memperjuangkan persamaan wanita merupakan bentuk perlawanan atas laku tirani dan ketidakadilan yang dialami kaumnya. Melalui buku-buku yang dibacanya, Kartini berhasil mewujudkan cita-citanya mengentaskan kaum wanita dari kebodohan dan ketidakadilan, khususnya dalam pendidikan.

Eri Sumarwan dan Djamari dalam bukunya, Tokoh Indonesia yang Gemar Baca Buku (2017) menulis, Kartini merasa pingitan, bukan menjadi penghalang untuk meneruskan kegemarannya sedari kecil yaitu membaca. Kartini membaca semua buku modern kiriman Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandungnya yang melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) era Belanda di Semarang hingga Universitas Leiden.

Kartini juga memanfaatkan kotak bacaan, leestrommel langganan ayahnya yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Bacaan bertema sosial, politik, hingga sastra itu membantunya menemukan jawaban atas kegelisahan dan pertanyaannya selama ini. Bakat menulis Kartini juga terasah sejak ia dipingit. Tanpa sadar bacaan-bacaan itu mendidiknya pribadi yang kuat untuk berjuang mendobrak tradisi yang menindas kaum wanita. Kartini merasa pingitan bukan menjadi penghalang untuk meneruskan kegemarannya membaca.